0

Tubuhmu yang mulai menua


Wanita yang memiliki mata yang dulu terlihat begitu memesona, kini tampak merosot ke dalam kepalanya jauh setengah centimeter, dikelilingi oleh lingkaran hitam terdiam di hadapanku. Ku dekap tubuhnya yang makin mengurus. Hampir setahun aku tidak bertemu dia lagi, nenekku yang telah semakin tua dan sakit-sakitan. Ku lihat sebutir demi sebutir airmatanya mengalir dipipi saat memeluk tubuh cucunya. Ia tersenyum saat aku menceritakan perjalanan kami dan pola tingkah lucu supir mobil angkutan yang kami gunakan.

Aku menemukannya tertidur di kamarnya sendirian, aku mengambil sebuah bantal dan merebahkan tubuhku di sampingnya. Nampaknya dia tersadar saat adikku juga ikut merebahkan tubuhnya disamping nenek. Aku memperhatikan punggungnya yang mengecil, bentuk-bentuk tulangnya sangat terlihat jelas. Kerutan kulit yang seakan telah bisa terangkat dan terpisahkan dari kulit membuatku begitu ingin memeluknya. Ku sentuh tubuh nenek pelan-pelan kemudian mendekapnya dari belakang. Aku tersenyum saat dia berkata padaku “Kenapa kamu takut-takut menyentuhku, kamu kira tulangku rapuh.” Dia masih bisa bercanda di saat tubuhnya semakin melemah. Wajah yang dulu begitu kuat menerjang berbagai macam masalah, tubuh yang begitu kuat melakukan berbagai aktivitas sekarang tersungkur lemah tak berdaya.

Adikku sesekali bercanda dengan tubuh nenek yang kurus, bahwa ia akan sangat mudah mempelajari anatomi di tubuh nenek. Beberapa kali dia menyebutkan nama tulang yang tidak ku mengerti itu. Semua itu di sambut dengan tawa ringan dari nenek, terus terang aku sangat bahagia melihatnya seperti itu. Senyum itu sangat ku rindukan. Sesekali dia mengatakan berbagai kebiasaanku dan adikku yang ternyata masih diingatnya. Kesukaan kami, kebiasaan kami, ia mengingat semuanya dan aku terkagum untuk kategori ingatan seorang lansia sepertinya. Dia adalah seorang nenek yang sempurna, di tengah kekuatannya yang semakin merosot, dia tidak pernah berhenti melakukan aktivitas walaupun seringkali di larang. Dan aku tahu, karena ia bersikeras untuk terus beraktivitas di dapur, ataupun di taman belakang rumah sepupuku, yang membuatnya sampai sekarang masih terlihat kuat dan tidak serapuh lansia lain. Ia masih bisa bekerja walaupun dengan intensitas yang sedikit tapi setidaknya dengan itu semua dia tidak harus menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda karena fungsi organ yang mulai menurun.

Sejak dulu nenek adalah seorang wanita yang sangat kuat, dia mendampingi kakek sampai kakek harus meninggal dalam usai muda. Dia menyekolahkan dan merawat anak-anaknya sendiri tanpa berniat untuk mencari pengganti kakek. Dan saat anak-anaknya harus bekerja di kota dan memiliki kendala untuk membawa anak-anaknya, nenekpun dengan ikhlas merawat cucu-cucunya. Aku, adikku, dan dua sepupuku menghabiskan hampir 5 tahun hidup bersama nenek di kampung. Dengan tubuhnya yang mulai menua dia masih sempat menyiapkan kami air dua ember besar di sumur untuk air mandi kami sebelum ke sekolah. Dia menimba air itu jauh sebelum ayam berkokok. Sepulang sekolah, nenek pasti sudah memasak untuk makan siang kami sebelum berangkat mengaji di rumah saudaranya. Menjelang petang, nenek akan mulai berteriak di jendela memanggil kami yang masih asyik bermain sampai magrib tiba. Aku terkadang heran, dari mana dia mendapatkan kekuatan suara yang besar untuk memanggil kami-cucu-cucunya. Saat malam tiba, dia akan menyalakan lampu minyak agar kami bisa belajar di bawah cahayanya. Sesekali dia akan menyantani kepala kami katanya supaya rambut kami kuat. Orang tua kami mungkin hanya bisa datang sekali seminggu menjenguk kami semua ini karena keterbatasan mereka, Ibuku adalah seorang perawat yang selalu jaga malam sedangkan Bapak saat itu masih sering ke luar kota untuk berdagang.

Aku selalu bersyukur dengan kondisi masa kecilku, yang walaupun dengan semua kesederhanaan, di sana aku justru belajar hidup bersahaja, belajar menikmati setiap moment kecil dalam hidup, belajar menikmati hidup dengan serba kekurangan sehingga tidak membuatku gelap mata saat Bapak mencapai kesuksesannya dan membuat kami sekeluarga hidup dengan serba kecukupan. Pelajaran di awal hidupku justru menjadi pelajaran yang sangat berharga, bahkan andai bisa aku ingin kembali pada masa itu, masa saat kami bisa tertawa riang di sawah belakang rumah, bermain di sungai, panen kacang tanah, makan keladi di pinggir sawah sambil menjaga burung pemakan padi, menangkap capung, bermain mobil-mobilan dari kulit jeruk dan kenangan masa kecil lain yang luar biasa menyenangkan. Pelajaran hidup yang diajarkan oleh seorang wanita yang kini telah menua.

Aku mendekapnya kembali, dan memijit beberapa tulangnya yang katanya sakit. Andai aku bisa aku ingin terus mendekapnya dan meluapkan semua kerinduanku padanya. Dia seorang wanita luar biasa, dan aku bangga telah memilikinya sebagai nenekku, aku bangga pernah di asuh olehnya, dan aku bangga dia masih bisa tersenyum padaku saat aku mendekapnya erat. Namun kebersamaan ini hanya belangsung dua hari, aku harus kembali ke Makassar, kembali ke rutinitasku. Aku berharap lebaran tahun depan aku masih bisa melihatnya tersenyum padaku, aku harap lebaran tahun depan aku masih bisa tertawa bersamanya, aku harap lebaran tahun depan aku masih bisa memijitnya, dan aku harap tahun depan aku masih bisa mendekapnya. Aku mencintaimu nenek.

Love to Hj. Haderah Aras.
0

Aku tidak pulang


Seberapa besar makna kebersamaan saat merayakan sebuah hari besar agama. Sampai aku tega menyakiti hati satu-satunya saudara yang ku miliki dan melampiaskan kemarahanku pada ibuku?

Kebersamaan itu, mengapa aku merasa malam ini semua itu sirna. Baru saja beberapa hari yang lalu aku mengkhayalkan shalat Idul Adha bersama, berkumpul bersama semua keluarga terutama nenekku yang mulai sakit-sakitan, bersama semua sepupuku, bercanda, tertawa, menikmati anugrah Idul Adha yang penuh keampunan. Namun, semua luntu sejak Ayu bilang padaku dia masih punya praktikum tanggal 26, aku merasa alamat tidak bisa mewujudkan semua impianku akan terjadi.

Tapi,
aku masih selalu menanggapi itu semua dengan guyonan. Beberapa kali aku menggunakan beberapa aksen daerah untuk mendramatisir keadaan jika kami harus pulang 26 malam dan tiba di Bone tepat saat panggilan shalat Idul Adha telah menyeruak di penjuru kota. Adikku tertawa dengan semua itu tapi aku tidak bisa menutupi ketakutanku pertama kali merasakan lebaran tanpa siapapun. Aku sudah pernah merasakan menikmati bulan puasa yang penuh hikmah-sendirian-dan hal itu sangat tidak menyenangkan.

Dan kini malam ini, semua air mata itu tumpah saat aku harus berdebat dengan satu-satunya saudara yang ku miliki dan paling ku sayangi. Aku harus berdebat mempertahankan egoku di atas skala prioritasnya. Kenyataannya- Adikku tidak bisa pulang karena tugasnya sebagai mahasiswa kedokteran yang tidak pernah berhenti. Aku sempat marah dengan keputusannya menyuruhku pulang dan membiarkannya lebaran sendiri tanpa siapapun di kota ini. Mungkin memang di otaknya sedang berkecamuk pilihan antara membiarkanku pergi dan menahanku untuk menetap dan aku tetap dengan egoku untuk memaksanya pulang. Dipikiranku hanya ada satu, apa dia pikir aku akan senang berlebaran di kampung halaman dengan mengetahui kalau dia di sini, sendiri tanpa keramaian, tanpa tawa, dan tanpa makanan khas lebaran. Mungkin aku egois karena memaksakannya pulang, tapi aku tidak habis pikir bagaimana mungkin aku senang dengan kondisi ini. Dan semua kondisi ini makin di perparah dengan kemarahanku karena Ibu mendukung keputusan adikku untuk menghabiskan hari lebaran di sini. Aku telah menyakiti hati mereka dan mempertahankan Id yang menggerogotiku.

Di sini, di-reading and watching spot-ku, aku berpikir mungkin ini saatnya aku harus berkorban dan menekan Id yang menguasaiku 2 jam yang lalu, aku harus mengalah dan mungkin mencoba menikmati kesempatan pertama berlebaran hanya berdua. Malam ini aku berkorban, malam ini aku memenangkan pertarungan melawan diriku sendiri, malam ini superegoku yang harus menang. AKU TIDAK PULANG
0

Pasir, ombak dan bintang


Malam mulai menyapa dan aku terduduk di sudut kamarku sambil menikmati lembar demi lembar perahu kertas, tetap dengan keadaan mendekap boneka tikus abu-abu dengan baju biru langitnya. Entah kenapa dadaku kembali bergetar menerima sms malam itu, sebuah ajakan yang memaksakan untuk keluar rumah dan menikmati kembali kebersamaan dengan teman-temanku. Aku sempat terdiam di sudut itu berpikir apakah keputusanku untuk keluar dan terlibat lagi dalam kegiatan satu malam bersamanya tidak justru membuat pertahananku selama ini runtuh? Tapi juga entah kenapa aku mengambil keputusan untuk sekedar menikmati hari ini mungkin mencoba untuk menghadapi kenyataan yang tidak selamanya bisa dihindari.

Setelah mengenakan pakaian dan mengecup pipi adikku yang sejak tadi merengek memintaku untuk tidak pergi, aku keluar menembus malam menuju kafe tempat kami akan bertemu untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat di pinggir laut. Dengan membonceng kakak angkatanku-Keenan, Aku mengikutinya dari belakang. Sesekali aku dan keenan tertawa cekikikan bersama, namun di sela-sela obrolan singkat di atas motor aku tetap tidak melepaskan pandanganku dari sosok pria yang ada dihadapanku. Sudah lama aku tidak melihatnya lagi-pernah namun cukup sekilas waktu itu- dan kini dia ada di hadapanku, diatas motor dengan baju kaos putih dan sebuah sweater cokelat tersampir di lehernya. Kami melewati jalanan-jalanan kecil untuk sampai di tempat yang di tuju. Aku sempat tersenyum samar malam itu melihatnya bertingkah yang tidak jelas di atas motor-menurunkan kedua kakinya menikmati sensasi aspal yang beradu dengan sepatu dan mengetuk-ngetuk bagian atas helmnya dengan jenis dan pola ketukan yang tidak jelas-benar-benar tingkah yang aneh.

Sambil menikmati udara malam di tepi pantai itu, aku memasuki sebuah pondok sewaan yang menjadi tempat yang kami tuju. Bercengkrama dengan sahabat, menikmati aroma masakan yang disediakan untuk memadamkan nafsu kelaparan yang melanda lebih 20 orang yang ada dirumah itu. Aku keluar sejenak di teras rumah, sedikit mencari udara segar dari pengapnya rumah sewaan itu. Sambil menikmati kembali lembar demi lembar perahu kertas di tanganku. Namun, Keenan mengajakku berjalan-jalan di pesisir pantai, menikmati angin malam yang menerpa jilbab kami. Sedikit spot di pasir yang terbentang luas itu kami ambil untuk meluruskan kaki di tengah deburan ombak.
“Nai, kamu tahu tidak kenapa kita merasa begitu damai saat melihat dan mendengar deburan ombak, gunung yang menjulang tinggi dengan segala kesejukan yang ditawarkannya, bintang yang bercahaya menghiasi langit malam, dan segala bentuk keindahan yang tersaji di hadapan kita?” ucap Keenan sambil menatap bintang yang belum tertutupi ombak.
“Hem……..tidak tahu, mungkin emang udah fitrahnya kali” jawabku seadanya sambil terus memperhatikan dua sahabatku di tepi pantai sedang memperhatikan binatang laut yang berlari kiri-kanan dengan terus memancarkan sinarnya.
“Karena saat melihat keindahan itu kita serasa kembali ke kampung halaman kita tempat dimana kita berasal. Kamu tahu kan roh kita sebelum tiba ke bumi, dia berada di surga dan menikmati semua keindahan itu. Makanya kita merasa damai dan tentram dengan semua elemen-elemen indah itu.”
Aku tersenyum mendengar argumen Keenan di sampingku. Sesaat kemudian binatang yang memancarkan sinarnya itu berjalan mengarah pada kami-cantik-itu yang bisa ku tangkap dari salah satu sosok spesies ciptaan-Nya yang mengagumkan.
“Apa nama binatang itu?” Tanya Keenan pada dua sahabatku yang asyik bermain-main dengan binatang itu.
“Tidak tahu, mungkin plankton.”
“Plankton mah kecil, sarapan paginya ikan” sahutku sambil terkekeh
“Kalo gitu mungkin dia temannya Patrick atau tuan crab kali”
“Cahayanya meredup!” teriakku saat binatang itu mulai tidak terlihat lagi di kegelapan malam.
“Kayaknya dia harus masuk lagi ke dalam air supaya bisa kembali mengeluarkan cahayanya, biasanya binatang ini bercahaya di bulan-bulan puasa atau mendekati lebaran.”
“Kok bisa gitu?”
“Tidak tahu, coba kita buka forum diskusi bersama binatang itu untuk mencari jawabannya.”
“Yah….aturlah waktunya.” Kami berempat tertawa di kolong langit dengan backsound debur ombak yang meneduhkan.
“Mending kita kembali ke pondokan, hujan akan turun” ucap sahabatku saat melihat warna awan mulai menghitam dan menutupi semua bintang indah penghias langit.

Aku dan Keenan kembali menikmati malam, diatas bale-bale yang ada di depan pondokan. Kami merebahkan kepala dan terus menengadah menatap sarang laba-laba di atap-atap kayu-dan Dia datang menghampiri kami- tenggorokanku sempat tercekat. Dia pun merebahkan badannya mengikuti kami, bercerita tentang segala persiapan kegiatan yang tengah dijalankannya bersama Keenan. Aku terdiam di sudut bale-bale itu dengan menikmati sayup-sayup “When I look at you” yang mengalun dari handphoneku. Aku terbangun untuk memperbaiki perasaanku, menatap ke arah hamparan pasir pantai di hadapanku.
“Nai, sekarang kamu semester berapa?” tanyanya padaku
“Semester tujuh.”
“Ehm……udah mo selesai juga dong, nggak nyangka…..dulu aku pertama kali melihatmu waktu masih SMA eh….SMP yah, kayaknya waktu itu aku masih kelas 2 SMA dan sekarang ternyata kamu udah mau jadi sarjana juga.”
Aku hanya tersenyum getir, ia sama sekali tidak tahu kalau sentilan kecilnya tentang masa lalu kami itu membawaku kembali pada tujuh tahun lalu, saat aku mulai stak pada perasaan ini. 10 November 2002.

Dalam keadaan seperti itu ku akui aku tidak bisa bertahan lebih lama, entah sudah berapa lama aku tidak bisa lagi berbicara sebebas dulu, seriang dulu dengannya. Sejak aku merasa waktunya untuk mengambil space yang cukup untuk menyelamatkanku dari perasaanku sendiri. Sudah sejak lama saat aku sudah tidak bisa menatapnya lagi saat kami berbicara dan mencari titik pandangan yang lain untuk mengatur perasaan anehku. Dan untungnya aku diselamatkan dengan kedatangan senior-senior kami yang telah lulus dan memiliki kehidupan realitas yang lain. Kami menghabiskan seperempat malam sambil bersenda gurau tentang masa lalu dengan sedikit petikan-petikan gitar dan alunan lagu. Dan aku tidak menyadari ada gelak tawa yang terdengar lepas dariku saat menikmati malam itu, dengan alunan sebelum cahaya-letto dan yang terdalam-peter pan.

Aku dan Keenan berganti posisi kearah bale-bale di samping pondokan. Disaat Keenan mencoba untuk terlelap di buai malam, aku kembali menekuri halaman perahu kertas dan kemudian sadar ada letupan yang terdengar dalam seluruh tubuhku yang memintaku untuk menulis indahnya malam ini. Keenan terbangun, ia tidak bisa memejamkan matanya. Ia menghabiskan malam sebelum subuh mendekat, dengan menonton Ketika Cinta Bertasbih. Aku mulai merasa kram di kakiku, karena terlalu lama duduk bersila dengan perahu kertas di tanganku. Aku meraih headset dan mengalunkan lagu di telingaku sambil menyusuri jalan di depan pondokan untuk sedikit merilekskan tubuhku dan terhenti di sebuah bangku. Dengan mata terus tertuju ke arah bintang-bintang, aku bersenandung.

“Nai, yuk……jalan ke tepi pantai lagi, filmnya dah habis” teriak Keenan padaku.
Kami berdua mendekati tepi pantai yang dingin di 04.00 wita subuh itu. Keenan merebahkan badannya di atas pasir dan memintaku melakukannya juga. Aku merebahkan tubuhku dan menikmati sensasi taburan bintang yang menjadi atap kami malam itu. Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terus menatap bintang, terus mengembara ke aneka riak-riak memori. Dan aku bangkit saat melihat Keenan terlelap di atas pasir itu. Aku melepas alas kaki yang menyelimuti kakiku sejak tadi, kemudian menyusuri setiap jengkal pasir yang basah di kenai ombak yang berayun. Sesekali kakiku harus basah terhempas ombak dan tertawa sendirian menikmati sentuhan dingin air laut subuh itu. Dengan tetap di temani alunan lagu, aku menatap kilauan cahaya-cahaya kapal nelayan di ujung batas cakrawala sampai akhirnya aku tersadar dengan bunyi adzan yang berkumandang dari masjid sekitar.
“Keenan, udah subuh ke pondokan yuk!”
“Kamu shalat?” tanyanya padaku
“Tidak.”
“Aku juga tidak.”
Ehm…..lagi-lagi masalah perempuan.

Kami mendaratkan kaki di bale-bale tempat kami bernyanyi-nyanyi malam tadi. Kembali merebahkan badan dan tanpa ku sadari, aku mulai di serang kantuk. Cahaya mulai menyeruak dan hamparan pasir di hadapanku mulai terlihat jelas. Ehm…..aku tertidur rupanya!!
“Keenan….pulang yuk, kita kan mau nyari bubur.”
“Ya udah…..cuci muka dulu yach”
Kami berkemas dan berbenah, bersiap meninggalkan lokasi kegiatan itu. Dan dia muncul di balik jendela memamerkan senyumnya dan mengganggu anak-anak lain. Dia mau ikut makan bubur, itu yang ku dengar, dan tenggorokanku tercekat.

Saat motorku telah selesai ku panaskan sejenak, dia muncul sambil membawa gitar dan mengalunkan lagu-lagu. Dia bernyanyi sambil berjalan berkeliling, aku tersenyum melihatnya dengan wajah lugu seperti itu dan dengan rambut yang acak-acakan aku melihat sosok yang sudah lama tidak ku lihat lagi dalam dirinya. Sosok yang ku rindukan dengan riak kebebasan. Sosok yang membuatku pertama kali merasakan degub aneh di jantungku. Tapi aku kemudian menghempaskan kenangan itu, aku tidak boleh kembali pada kondisi itu

Akhirnya hanya aku dan Keenan yang merasakan bubur ayam pagi itu karena dia tidak jadi ikut bersama kami. Setidaknya kenyataan itu membuatku sedikit lega, aku tidak perlu menghindar lagi dari sosok apapun ketika aku ingin benar-benar menikmati pagi dengan semangkok bubur ayam.
“Thanks ya Nai, ini sangat menyenangkan. Lain kali kita kayak gini lagi yach,menikmati debur ombak dan tertidur di pasir benar-benar hal yang sangat menyenangkan.”
Aku tersenyum, benar-benar malam yang menyenangkan.

Hari ini aku tersadar akan satu hal, saat berhadapan dengannya aku tidak bisa menjadi diriku sendiri karena terus berusaha tidak terlibat terlalu dalam, namun aku bisa menjadi diriku seutuhnya jika kami berkomunikasi tidak secara langsung. Seakan hidup terus-terusan ingin mengingatkan bahwa ada sekat antara aku dan dia yang tidak bisa ditembus. Dan aku hanya bisa menerima dan ikhlas karena hati telah memilih.
3

Terapi Wudhu....

Terapi wudhu.....

subhanallah,...
semua syariat Islam yang di wajibkan kepada kita memang memiliki dan sarat makna dan keajaiban

makin terbukti opini yang menari-menari di kepalaku "IBADAH BUKAN HANYA SEKEDAR KEWAJIBAN TAPI JUSTRU SEBUAH KEBUTUHAN"
hanya dari shalat yang di dahului wudhu 5 kali sehari, kita bisa menjaga kesehatan fisik dan psikologis kita

tentu dengan wudhu yang baik dan sesuai dengan ketentuan, efek "massage" saat membasuh anggota tubuh tertentu akan menjauhkan kita dari 17 bentuk penyakit, subhanallah....

can you imagine that???
semua anggota tubuh yang di isyaratkan dalam wudhu merupakan titik-titik akupuntur yang dapat meningkatkan kesehatan fisik dan jiwa kita terutama di area kaki yang memiliki 125 titik. apalagi anggota tubuh yang di basuh adalah anggota tubuh yang tampak dan terekspos yang memungkinkan terjadi penumpukan kuman di daerah tersebut.

jadi, cuci tangan 2 kali sehari seperti yang diajukan pemerintah dapat di dukung oleh wudhu selama 5 kali sehari, di jamin kuman2 pada kabur, ketenangan batinnya dapet, pendekatan kepada Rabb juga dapet......enak kan!!!!!!!!
0

Kembali

Welcome.....in my Domus................

memulai hari-hari kembali dengan aktivitas menulis...
0

Kembali

Welcome.....in my Domus................

memulai hari-hari kembali dengan aktivitas menulis...
0

Stranger

Tak.....tik.....tuk.....tak.....tuk
Suara langkah kakiku yang terburu-buru, mataku menatap setiap langkah petugas pelabuhan di ujung tangga kapal berharap mere belum berpikir untuk mengangkat tangganya dan membiarkanku melongo karena ketinggalan.
Ha........
Aku sempat tersenyum saat seorang pengemis duduk di antara jalanan pelabuhan dan mengatakan bahwa aku tidak perlu berlari dan tentunya dengan mencoba menahan langkahku akhirnya aku merasa cukup dengan berjalan lebih cepat dan tidak perlu berlari.
Pelabuhan sore itu mulai sepi, pengantar sudah dipersilahkan turun dari atas kapal, rupanya. Aku menyusuri setiap lorong kapal berharap mendapat satu kasur kosong agar sebuah tikar cokelat ditangan kananku tidak menjadi pilihan.
Akhirnya....
Dapat juga
Tapi......
Uhm....
Rupanya aku harus berdampingan dengan kumpulan laki-laki.
But, my lucky day
Ranjang yang kosong ada dua, so disanalah barangku beristirahat sekaligus memisahkan aku dengan laki-laki disebelahku.
Setidaknya aku aman, iya kan!!!!
Tapi agak menganggu
Sejujurnya
Itu yang ku rasa saat satu persatu dari mereka mulai bertanya banyak hal
Malas
Tentu
Aku ladeni saja mereka sewajarnya
Walaupun lama kelamaan cukup membuatku jengah juga.
Untung mereka punya hobi berkeliaran di sepanjang dek-dek kapal, sehingga aku punya kesempatan menikmati perjalanan dengan lebih santai sambil menghabiskan satu novel ditanganku


Rupanya mereka cukup baik
Mereka menerimaku sebagai salah satu bagiannya
Akhirnya
Ku coba lebih bersikap melunak pada mereka dan tidak lagi bersikap dingin seperti sebelumnya yang hanya mengalihkan mata sepersekian detik untuk menjawab pertanyaan basa basi mereka.
Mungkin aku memang semestinya tidak menilai orang dari cara mereka mengenalku karena setiap orang punya cara yang berbeda. Sulit dikatakan sopan atau tidak menurut kadar budaya tertentu. Sesekali ku beri mereka senyuman sebagai rewards karena setidaknya mereka cukup ramah padaku dan aku cukup aman berada ditengah-tengah mereka.
Dan hei.....
Satu bukti
Ku rasakan hangat dikakiku saat terbangun di pagi itu
Ternyata sebuah sarung bali sedang menyelimuti pinggang sampai telapak kakiku
Mereka tahu aku kedinginan, rupanya
Perhatian sekali
Mereka menghamparkan sebuah kain yang menghangatkan dan membuatku tidur nyenyak malam itu.
Thanks, stranger......
I hope can meet you again
0

Mahluk Merah

Aku berjalan mengambil rok hitam kesayanganku, baju putih dengan bahan yang cukup hangat plus jilbab hitamnya. Semua peralatan mulai dari laptop, chargernya, mouse, headset, dompet dan buku yang ku namai buku penulis telah siap di dalam tasku. Aku melangkah keluar, ku cari sendalku di balik kegelapan maklum malam itu lampu terasku lagi mati. Ah itu dia sendalku, aku mendekati sebuah sendal biru tanpa tahu bahwa bahaya tengah mengintaiku. Aku menggunakannya dan huaa.........mahluk kecil berwarna merah dengan jumlah yang entah puluhan atau malah ratusan siap-siap membuka mulutnya, membasahi sedikit kerongkongannya dengan air liur agar lebih memudahkannya melumpuhkan mangsa, mengeluarkan taringnya yang seperti drakula dan 1....2.....3.....akh....menggigit kakiku secara bersamaan. Huuaaaaa.......semut merah, adow,,,,.....sakit....sakit, aku melihat satu ember air didekatnya ku guyur aja pake air. Mungkin mereka ngira tiba2 ada banjir bandang kali ya.......
Semut yang aneh kayaknya mereka nggak suka lagi sama gula....”
0

Mall with pat brown dan segelas teh manis

Hei......nih kentang ada wijennya ya.....???pikirku dengan keadaan dahi bergulung-gulung kecil, alis hampir menyatu. Aku sedang berada di food court salah satu mall di Makassar menikmati kentang yang diberi nama path brown dengan segelas teh manis. Kentang itu memiliki belang-belang hitam, bumbu apa yang penjualnya gunakan aku juga tidak tahu. Kepalaku berpindah-pindah menatap kentang yang sedang ku nikmati dengan novel bersampul merah hati di tangan kiriku. Sesekali ku arahkan pandanganku pada langit-langit mall yang transparan menggambarkan keadaan diluar sana.
Dan hoplah........
Ternyata hujan masih gencar menerjang bumi. Akhirnya aku memperlambat proses mencerna kentangku sambil menanti hujan itu sedikit mereda sehingga pakaianku tidak basah karenanya. Siang itu tidak terlalu ramai, mungkin karena kebanyakan orang lebih memilih berdiam diri dirumah menikmati kehangatan daripada melangkahkan kakinya ke sini dan disambut dinginnya AC yang makin menyempurnakan musim hujan ini. Ya.....walaupun masih tetap saja ada beberapa tatapan yang tertangkap sedang memperhatikanku dan mencibir di dalam hati ataupun berbisik seolah begitu desperatenya aku duduk sendirian dengan sebuah novel ditangan.
Halo.......tidak tau yang namanya keinginan menikmati kesendirian ya!!!!
Aku mendengar suara hujan mulai redup diluar sana, ku seruput teh manisku dan melangkah pergi. Sambil menyusuri mall itu aku menemukan sebuah permen coklat di saku jaketku. Ehm.....yummi.
Setelah memasukkan gumpalan coklat ke dalam mulutku yang kemudian siap untuk melumer. Aku menggulung-gulung pembungkusnya menanti tempat sampah tercinta terlihat.
Ah.......pulang ke rumah menikmati sebuah roti hangat dan kembali meneruskan bacaanku kayaknya akan lebih nikmat.
Hahaha.........kayaknya aku mulai berpikiran sama dengan orang-orang yang memilih tinggal dirumah.
Ku tarik motorku yang berhimpitan dengan motor lain diparkiran. Hey.....dimana sih tukang parkirnya apa dia tidak melihat sedang ada gadis manis yang kesulitan dan membutuhkan super hero. Ya......setidaknya sang hero parkir. Dan alhasil aw........standar motor yang belum ku naikkan berhasil membuat sebuah goresan keras dijempol kakiku dan membuatku spontan menekan rem tangan dan berteriak kesakitan walaupun dengan volume yang kecil takut menjadi pusat perhatian. Rasa sakitnya tidak bisa ku tahan, kakiku seketika seperti mati rasa dan ow.....sakitnya sampai terasa di hati.
Suer.....aku nggak bohong beneran sakiiiiiiiiiiiitttt.....................
Selama perjalanan menyusuri jalan dengan sedikit sisa-sisa hujan, aku menahan sakitnya yang tidak kunjung menghilang. Dengan teriakan-teriakan meringis aku menahan sakitnya, tentu teriakan itu dilungkupi oleh helm standar yang ku gunakan untuk meredam suaraku. Karena aku bisa jadi pusat perhatian orang lain kalau berteriak nggak keruan sendirian, di atas motor, hujan-hujan, dan tanpa headset ditelingaku yang bisa menandakan ada percakapan disana atau sekedar menikmati musik. Aku terus menembus hujan sebelum semakin deras dan tiba di rumah dengan perhatian tertuju pada jempol kakiku yang ternyata berhasil berubah warna menjadi biru dan bengkak.
0

Buntu...........!!!!!!!!

Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....................................

Kembali lagi masalah itu melandaku

Deretan, rangkaian, tautan, dan rentetan huruf dan kalimat itu tidak selesai...
Kenapa aku tidak pernah bisa menyelesaikan satu cerita sampe tuntaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssssssss.........

Hmph.........ahehmmm.....mungkin aku kebanyakan mikir kali ya....
Jadi nda jadi-jadi deh tuh cerita.....
Selalu saja ada ide baru yang menghambat proses pengerjaan tulisan....

Itu dibilang Iyan....
Jangan ki’ terlalu banyak berpikir kalo nulis
Tulis saja....apa yg lagi mencuat dan melompat-lompat dikepala ta’
Dari hati....
Dari hati.........
Pasti hasilnya lebih baik
Tapi hehehe......mikir sekali-sekali penting juga
Nanti ngawur ki’ tulisan ta’
[nah loh kenapa gabung-gabung logat begini ya......]
0

Kesendirian

11 Januari 2009

Eh....eh....ada judul lagu seperti itu kan......
Ya......
Aku ingat, hehehe Itu KAN judul lagunya GIGI

Diatas motor dengan mantel hujan hijau
Aku berpikir.....

[kondisi kesendirian dengan secangkir KOPI SUSU memang terkadang lebih menyenangkan]

Apalagi tidak selamanya kan.....
Kita bisa mengajak orang lain menemani kita menekuri aktivitas...
Kecenderungan mereka tidak menyukai dan bosan dengan apa yang kita lakukan tetap ada.
Jadi,
Kesempatan melakukan semuanya sendiri itu harus dilakoni dong.....
Tapi syaratnya harus puas dengan pandangan orang-orang mengenai betapa menyedihkannya dan kesepiannya dirimu....[itu menurut mereka.....]

Terkadang itu menyenangkan [coba aja]
Membiarkan orang lain berspekulasi
Tahu menyenangkannya dimana???
Kita akan menemui otak berlari menyusuri semua informasi yang telah ada, meramunya menjadi ide-ide dahsyat dan puas hanya tersenyum dalam kesendirian.
Siguiente Inicio

SlideShow