1

Regresi, I think




Kepulan asap berada disekitarku, aku sadar sedang berada diantara kendaraan pribadi dan kendaraan umum yang saling berebut celah sempit agar dapat segera sampai ditempat tujuan. Aku mencoba meregangkan keteganganku yang harus mengendalikan sebuah kendaraan yang cukup berat untuk ukuran wanita yang sehari-hari menggunakan rok. Bagi kalian yang biker sejati, cobalah mengendarainya diantara kerumunan alat transportasi itu disiang yang mampu membuat segala jenis pemutih tidak berfungsi.
Aku menatap ke atas dan melihat awan yang setelah ku perhatikan dengan lebih baik ternyata menggambarkan seorang gadis dengan gaunnya yang indah dikejar-kejar oleh gumpalan awan yang tak berbentuk. Aku mampu mengimajinasikan awan tersebut menjadi sesuatu yang bermakna karena awan itu menggambarkan keadaan diriku. Dunia yang penuh dengan keindividualan kini ku buktikan tidak menyenangkan. Zaman seperti sekarang menciptakan manusia-manusia dengan segala keindividualannya yang terkadang tidak peduli dengan sekitarnya dan zaman itulah yang telah membentukku sejak dua tahun lalu.
Aku mungkin bukan orang yang sangat tidak peduli dangan sekitarnya tapi untuk taraf normal aku terkadang melakukannya. Banyak orang mengatakan bahwa keadaan transisi terjadi pada masa remaja, tapi tidak denganku. Aku mengalaminya diusia yang kata orang sudah dewasa, 20 tahun. Terkadang aku merasa mungkin aku mengalami regresi, yang menurut Freud salah satu tokoh psikologi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kemunduran perilaku. Bagiku, regresi tidak terjadi dengan sendirinya tapi aku menginginkannya.

2 Juni 2009

(Huaaa....1 tahun yang lalu........!!!)

0

ehm....apa bisa disebut cerpen???

Asap kendaraan dengan bau yang menyengat beterbangan dimana-mana, menyumbat lorong-lorong pernafasanku membuatku ingin mengeluarkan semua isi perutku. Ini jalanan atau pabrik, asapnya kok banyak sekali, pikirku. Mobil terus melaju menembus asap putih mirip es kering yang menutupi pandangan mata, aku mencoba mengatur perasaanku. Aku teringat pesan ibuku “perutmu jangan ditekuk, karena keadaan seperti itu memungkinkan orang untuk mengalami mual bahkan sampai muntah”. Aku tersenyum dan mencoba melaksanakan saran Ibuku, pikirku mungkin saja berhasil.
Saat melintasi gunung-gunung yang begitu kokoh aku berpikir andai saja aku sekokoh dan setegar gunung itu. Di sisi kiriku terlihat jurang yang terjal menganga dan siap menelan korban layaknya masalah yang siap menenggelamkan manusia yang tidak mampu bertahan seperti gunung disisi kananku. Terasa lega kali ini, udara sejuk mulai mendinginkan loong-lorong gelap pernafasanku. Kicauan burung terdengar dibalik pepohonan melantunkan nyanyian indah bagai seorang pujangga menyenangkan hati kekasihnya dikala duka menyelimuti dengan beberapa bait puisi. Suasana itu begitu indah seolah telah disetting oleh Allah untuk menenangkanku. Aku pun teringat kenangan-kenangan saat aku masih polos dan yang ada diotakku hanyalah bersenang-senang tanpa memikirkan berbagai masalah yang seolah-olah menyerupai gunung berapi yang siap meledak. Aku serasa melihat flash back saat aku berlarian dipematang sawah sambil mencoba menangkap capung yang beterbangan. Suara mungil kami terdengar sangat bahagia. Tubuh kami terselimuti lumpur tapi hati kami seputih dan sebersih kapas karena kami sama sekali belum merasakan bahkan membayangkan kejamnya dunia diluar sana.
Saat langit mulai memperlihatkan sapuan warna jingga yang mempesona, nenek pun berteriak memanggil kami untuk pulang. Kami berlarian menuju sumur kecil yang tidak jauh dari rumah dan membersihkan lumpur-lumpur yang melekat ditubuh mungil kami. Kami shalat berjamaah, kemudian menyelami berbagai ilmu pengetahuan yang tersaji didalam sebuah lembaran-lembaran kertas yang menyatu, tanpa televisi dan menikmati semua kesederhanaan ini. Setiap kali jam menunjukkan pukul 8 malam kami segera membereskan semua buku-buku dan bersiap-siap untuk tidur. Sebelum tidur kami mengusir nyamuk yang mencoba masuk ke dalam kelambu menggunakan sarung. Dibalik kelambu yang warnanya telah berubah menjadi agak kecoklatan itu dan diselingi suara-suara binatang malam kami bergurau dan saling mengganggu sampai akhirnya kami terlelap dibuai mimpi.
Belokan tajam disisi gunung menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menarik napas panjang mencoba menghirup udara segar yang diberi oleh-Nya tanpa bayaran apapun. Sejenak melepaskan perasaan tidak nyaman yang selalu menderaku dalam perjalanan, aku mencoba mencari rambu jalan yang menunjukkan seberapa dekat atau jauhnya aku dengan tujuanku, “masih lama” pikirku setelah melihat tulisan Watampone 85 km lagi. Ujung kerudungku menari-nari dipermainkan angin yang menyusup dari jendela mobil yang sedikit terbuka. Mobil kami terus melaju dan berputar menyusuri jalan yang berliku seperti obat nyamuk. Panorama indah yang tersaji dihadapanku sempat membuatku tidak menyadari bahwa kami telah memasuki salah satu desa.
0

Hanya dengarku......

Laju dan terus melaju kencang sambil menatap segumulan semak yang tak jelas hanya terlihat seperti coretan yang bergaris panjang. Benda elektronik yang tergantung di leherku terus berbunyi menyeruak di tengah kensunyian malam. Pantulan gambar dari jendela sebelahku menunjukkan spion mobi yang memantulkan cahaya-cahaya di belakangnya. Dari jendelaku terlihat seperti kumpulan cahaya bintang yang menawan. Malam itu, aku mulai menyadari dari beberapa kali alat elektronik di leherku itu menyala, dia selalu bercerita tentangnya, semua yang dia alami tanpa sadar bahwa aku pun ingin bercerita, mengisahkan sesuatu, dan mendengar tanggapannya. Hanya dengarku yang dia butuhkan tanpa menyadari aku juga membutuhkan dengarnya. Ku tautkan jari jemari milik kedua tanganku untuk menikmati alunan musik dan mengabaikan semuanya.
0

Tulisan dikala menunggu membuatku jenuh



Tiga hari dengan rutinitas yang sama yaitu berada diruangan ini dengan durasi kurang lebih setengah jam, aku merasa telah mampu mendeskripsikan kebiasaan-kebiasaan para pegawai dihadapanku. Seorang pria dengan beberapa rambut putihnya duduk sebagai pimpinan. Ia bekerja di balik sebuah meja besar di bagian tengah sisi sebelah kanan ruangan. Setiap kali aku memasuki ruangan ini, selalu saja ku temui asap rokok mengepul yang sebenarnya kurang tepat disandingkan dengan beberapa alat pendingin ruangan. Pria itu adalah seorang pimpinan yang bisa ku katakan patut disebut pimpinan teladan. Ia hampir selalu ada diruangn itu, baik aku datang dihari yang sudah memasuki jam istirahat ataupun aku datang sejak pagi. Dia pasti telah bertengger di kursinya dengan mengamati laptop dan komputer dihadapannya secara bergantian, menyelesaikan pekerjaannya sambil sesekali mengkonfirmasi beberapa jenis pekerjaan melalui telepon selular.

Satu kebiasaan yang tidak ku sukai diruang itu adalah semua pegawai laki-laki pasti menyelesaikan pekerjaan mereka sekaligus bersamaan dengan melahap beberapa batang rokok, tidak terkecuali pimpinan yang kepribadiannya ku kagumi itu.

Pegawai lain yaitu seorang wanita paruh baya yang melengkapi penampilannya dengan sebuah jilbab disudut ruangan sebelah kiri, pun tidak luput dari pengamatan dan analisisku. Wanita itu jarang sekali mengeluarkan suaranya melainkan hanya sibuk dnegan setumpuk pekerjaannya. Sesekali ia mengambil beberapa map di bawah meja atau di dalam lemari di belakang mejanya. Ia juga sesekali tampak merapikan segala sesuatu yang duduk manis di atas mejanya, seolah tidak membiarkan satu barang pun berserakan dan tersimpan tidak teratur.

Sejalan dengan kondisi wanita paruh baya itu, pria hitam pendek, seorang pegawai yang terlihat lebih muda, yang duduk di sisi sebelah kiri tepat di samping pimpinannya dan dipisahkan oleh sebuah lemari panjang itu juga lebih suka mengunci mulutnya lebih rapat. Ia selalu menekuri pekerjaannya yang sekilas terlihat dari tempatku duduk, hanya berupa beberapa potongan angka yang bagai semut memenuhi layar Microsoft excelnya. Ia adalah seorang pegawai yang tidak pernah tampak berbicara banyak atau sekedar menimpali dan ikut dalam perbincangan di ruangan itu. Ia hanya menyunggingkan senyum atau mengerutkan kening dengan mulut yang tetap mengatup.

Sangat berbeda dengan kondisi pria gemuk yang meja kerjanya tepat berhadapan dengan tempat dudukku. Ia mengerjakan pekerjaannya dengan disertai mulut yang terus mengoceh entah menyalahkan proposal, menyalahkan seseorang, pemerintah, bahkan pilkada. Ia tidak pernah tenang duduk di tempat duduknya. Ia pasti menghabiskan sebagian waktunya dengan berjalan kesisi lain ruangan sambil membiarkan ampas rokoknya bertebaran memenuhi lantai yang sebelumnya licin mengkilat itu.

Oh iya……selama tiga hari aku berkunjung ke ruangan ini secara berturut-turut, setiap menit tidak pernah luput dari tamu yang silih berganti menemui pimpinan (laki-laki rambut uban itu). Entah hanya untuk sekedar duduk sambil menghabiskan beberapa batang rokok dan obrolan ngalur ngidul atau sekedar mengelesaikan beberapa urusan.

Dan kini aku mulai lelah menunggu, apakah selalu, setiap kali berbenturan dengan urusan yang mengharuskan seseorang berhubungan dengan sebuah instansi, seseorang lantas harus mengalah dan memaklumi semua hal karena kita yang butuh. Tidak bisakah kita, baik yang butuh atau dibutuhkan saling bekerja sama dan sadar untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin karena ia selalu mengejar dan tidak membiarkan kita menunggu hanya untuk hal yang sepele. Sekarnag, telah beberapa lembar tulisanku di buku ini, dan orang yang ku tunggu (pria berkumis) itu belum juga menampakkan hidungnya. Kesal, tentu, tapi apa yang bisa ku lakukan selain menunggu.

Sulitkah bagi bapak berkumis itu untuk mengerti bahwa aku juga memiliki segudang aktivitas dan bukan hanya untuk menolerir aktivitas pribadinya.

Makassar, di sebuah gedung berwarna krem, diatas sebuah kursi, dengan mata murung, telinga mendengarkan lagu untuk menawarkan rasa kesal, dan dengan hati yang amat sangat jenuh serta tentu dengan tubuh yang telah lelah menunggu, 30 Juni 2010.
0

Share with writing

Um………menulis adalah sebuah kegiatan yang sampai sekarang tidak ku mengerti mengapa aku begitu menyukainya. Bukan hanya sekedar menulis catatan kuliah tentunya, tapi lebih dari itu. Mulai dari sekedar mencatat schedule yang mesti ku lakukan dalam beberapa jam atau dalam sehari (maklum………aku adalah salah seorang manusia yang harus mencatat segala sesuatu yang akan ku kerjakan tentu saat pekerjaan tersebut sangat banyak dan beragam sehingga sulit dikelompokkan dalam satu kategori aku selalu menyebut kebiasaanku ini adalah time program a.k.a program atau kebiasaan yang bisa ku handle agar waktu yang ku gunakan tidak sia-sia). Em kembali ke topik……….selain sekedar mencatat schedule yang mesti ku lakukan, aku juga telah terbiasa menuliskan setiap kejadian yang terjadi pada hidupku (aku menyebutnya lompatan pikiran), tidak setiap hari tapi selalu membuatku memandang hidup dengan menyenangkan seperti kembali memutar ulang mesin waktu kembali pada periode waktu itu saat aku membaca setiap tulisan-tulisanku. Satu lagi kebiasaanku menulis yaitu novel atau sekedar cerpen, kebiasaan ini sangat membantuku mengatasi kemampuan mengkhayalku yang sudah diluar batas kewajaran yang biasanya ku lakukan di tepi-tepi waktu menjelang mimpi menggelayutiku dimalam hari.

Oke…..cukup penjelasan mengenai diriku, saat ini aku lebih ingin membagi beberapa referensi yang pernah aku dapatkan mengenai kepenulisan. Tentu tulisan ini sebagian ku kutip dari beberapa referensi tapi maaf kali ini aku tidak bisa mengikuti kaidah karya tulis ilmiah yang benar yaitu menyantumkan penulisnya. Bukan maksudku untuk melakukan tindakan plagiat. Hanya saja aku lupa dari mana aku mendapatkan pengetahuan ini, aku hanya ingin membaginya saja. Sekedar share aku rasa tidak apa-apa kan untuk mentoleransi kutipanku tanpa penulis aslinya. Mohon dimaklumi tapi aku harap pembaca bisa menarik sebuah hikmah dari tulisan ini, em…..setidaknya pembelajaran walaupun aku bukanlah seorang guru yang baik.

Pertama, aku akan membahas sebuah ilmu hipnotis yang disebut HYPNOTIC WRITING. Bukan….bukan….bukan seperti jenis hipnotis yang ada di TV..TV….atau dari beberapa pelatihan yang mungkin pernah pembaca ikuti. Jenis hipnotis ini digunakan untuk mengubah persepsi seseorang kepada sudut pandang yang kita inginkan (kita a.k.a penulis), atau bisa disebut juga dnegan menghipnotis pembaca agar tertarik dengan tulisan yang kita buat.

Misalnya:

“Wulaupan eajan tilasun ini slaah tatpei kmau tteep bsia bcaa, kernaa utarun hruuf drai ktaa tadik jdai mlsaah, asakln huurf ptmeraa dan trakhier bedara di teapmt ynag baenr.”

Nah, contoh di atas menunjukkan bahwa betapa mudahnya sudut pandang dan pikiran kita tertpu oleh tulisan, hanya dnegan mengubah persepsi seseorang kepada sudut pandang yang kita inginkan.
Beberapa tips yang pernah ku dapatkan dr salah satu penulis (lagi…lagi…saya lupa namanya siapa):
1.Tentukan dulu tujuan atau hasil yang ingin dicapai dari tulisan kita
2.Tahu betul apa yang ingin kita tulis, seperti manfaatnya bagi kita sendiri dan orang lain
3.Mulailah menulis dengan kreatif, dnegan cara merevisi setiap selesai menulis (tambahan dari aku pribadi, cobalah untuk selalu going the extra miles: berusahalah untuk tidak menjadi rata-rata)
4.Berikan naskah kepada orang lain dan biarkan mereka member komentar yang jujur
5.Perbaiki tulisan berdasarkan hasil flashback dari komentar-komentar orang lain

Kemudian hal kedua yang ingin aku bagi adalah mengenai detil dalam kisah fiksi, singkat saja:

Cerita kamu akan lebih nyata jika dibantu dnegan detil. Manusia memiliki berbagai macam indera. Gunakan indera tersebut untuk membuat cerita kamu semakin nyata di mata pembaca. Misalnya kedetilan dari segi fisik, penampilan, sifat, karakter, dan seting tempatnya. Sediakan waktu untuk detil pada setiap tokoh dan setting tempat serta setting waktu. Tapi jangan terlalu berlebihan karena nanti pembaca mual membacanya dan akhirnya menghentikan tindakannya membaca tulisan kamu. Cukup sampai pembaca merasa benar-benar mampu mengimajinasikan lokasi atau watak tokoh tersebut.

Oke, mungkin ini saja yang bisa saya bagi kepada orang lain, saya bukan guru kepenulisan karena saya pun masih belajar. Tapi sebagai pembelajar yang baik kita mesti saling berbagi, bukan. Tetaplah menulis karena dengan menulis itu adalah sebuah kesadaran sejarah.

“Without words, without writing and without books there would be no history, there could be no concept of humanity”
Siguiente Anterior Inicio

SlideShow