0

ehm....apa bisa disebut cerpen???

Asap kendaraan dengan bau yang menyengat beterbangan dimana-mana, menyumbat lorong-lorong pernafasanku membuatku ingin mengeluarkan semua isi perutku. Ini jalanan atau pabrik, asapnya kok banyak sekali, pikirku. Mobil terus melaju menembus asap putih mirip es kering yang menutupi pandangan mata, aku mencoba mengatur perasaanku. Aku teringat pesan ibuku “perutmu jangan ditekuk, karena keadaan seperti itu memungkinkan orang untuk mengalami mual bahkan sampai muntah”. Aku tersenyum dan mencoba melaksanakan saran Ibuku, pikirku mungkin saja berhasil.
Saat melintasi gunung-gunung yang begitu kokoh aku berpikir andai saja aku sekokoh dan setegar gunung itu. Di sisi kiriku terlihat jurang yang terjal menganga dan siap menelan korban layaknya masalah yang siap menenggelamkan manusia yang tidak mampu bertahan seperti gunung disisi kananku. Terasa lega kali ini, udara sejuk mulai mendinginkan loong-lorong gelap pernafasanku. Kicauan burung terdengar dibalik pepohonan melantunkan nyanyian indah bagai seorang pujangga menyenangkan hati kekasihnya dikala duka menyelimuti dengan beberapa bait puisi. Suasana itu begitu indah seolah telah disetting oleh Allah untuk menenangkanku. Aku pun teringat kenangan-kenangan saat aku masih polos dan yang ada diotakku hanyalah bersenang-senang tanpa memikirkan berbagai masalah yang seolah-olah menyerupai gunung berapi yang siap meledak. Aku serasa melihat flash back saat aku berlarian dipematang sawah sambil mencoba menangkap capung yang beterbangan. Suara mungil kami terdengar sangat bahagia. Tubuh kami terselimuti lumpur tapi hati kami seputih dan sebersih kapas karena kami sama sekali belum merasakan bahkan membayangkan kejamnya dunia diluar sana.
Saat langit mulai memperlihatkan sapuan warna jingga yang mempesona, nenek pun berteriak memanggil kami untuk pulang. Kami berlarian menuju sumur kecil yang tidak jauh dari rumah dan membersihkan lumpur-lumpur yang melekat ditubuh mungil kami. Kami shalat berjamaah, kemudian menyelami berbagai ilmu pengetahuan yang tersaji didalam sebuah lembaran-lembaran kertas yang menyatu, tanpa televisi dan menikmati semua kesederhanaan ini. Setiap kali jam menunjukkan pukul 8 malam kami segera membereskan semua buku-buku dan bersiap-siap untuk tidur. Sebelum tidur kami mengusir nyamuk yang mencoba masuk ke dalam kelambu menggunakan sarung. Dibalik kelambu yang warnanya telah berubah menjadi agak kecoklatan itu dan diselingi suara-suara binatang malam kami bergurau dan saling mengganggu sampai akhirnya kami terlelap dibuai mimpi.
Belokan tajam disisi gunung menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menarik napas panjang mencoba menghirup udara segar yang diberi oleh-Nya tanpa bayaran apapun. Sejenak melepaskan perasaan tidak nyaman yang selalu menderaku dalam perjalanan, aku mencoba mencari rambu jalan yang menunjukkan seberapa dekat atau jauhnya aku dengan tujuanku, “masih lama” pikirku setelah melihat tulisan Watampone 85 km lagi. Ujung kerudungku menari-nari dipermainkan angin yang menyusup dari jendela mobil yang sedikit terbuka. Mobil kami terus melaju dan berputar menyusuri jalan yang berliku seperti obat nyamuk. Panorama indah yang tersaji dihadapanku sempat membuatku tidak menyadari bahwa kami telah memasuki salah satu desa.

0 komentar:

Posting Komentar

koment yach!!!

Siguiente Anterior Inicio

SlideShow