0

Pasir, ombak dan bintang


Malam mulai menyapa dan aku terduduk di sudut kamarku sambil menikmati lembar demi lembar perahu kertas, tetap dengan keadaan mendekap boneka tikus abu-abu dengan baju biru langitnya. Entah kenapa dadaku kembali bergetar menerima sms malam itu, sebuah ajakan yang memaksakan untuk keluar rumah dan menikmati kembali kebersamaan dengan teman-temanku. Aku sempat terdiam di sudut itu berpikir apakah keputusanku untuk keluar dan terlibat lagi dalam kegiatan satu malam bersamanya tidak justru membuat pertahananku selama ini runtuh? Tapi juga entah kenapa aku mengambil keputusan untuk sekedar menikmati hari ini mungkin mencoba untuk menghadapi kenyataan yang tidak selamanya bisa dihindari.

Setelah mengenakan pakaian dan mengecup pipi adikku yang sejak tadi merengek memintaku untuk tidak pergi, aku keluar menembus malam menuju kafe tempat kami akan bertemu untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat di pinggir laut. Dengan membonceng kakak angkatanku-Keenan, Aku mengikutinya dari belakang. Sesekali aku dan keenan tertawa cekikikan bersama, namun di sela-sela obrolan singkat di atas motor aku tetap tidak melepaskan pandanganku dari sosok pria yang ada dihadapanku. Sudah lama aku tidak melihatnya lagi-pernah namun cukup sekilas waktu itu- dan kini dia ada di hadapanku, diatas motor dengan baju kaos putih dan sebuah sweater cokelat tersampir di lehernya. Kami melewati jalanan-jalanan kecil untuk sampai di tempat yang di tuju. Aku sempat tersenyum samar malam itu melihatnya bertingkah yang tidak jelas di atas motor-menurunkan kedua kakinya menikmati sensasi aspal yang beradu dengan sepatu dan mengetuk-ngetuk bagian atas helmnya dengan jenis dan pola ketukan yang tidak jelas-benar-benar tingkah yang aneh.

Sambil menikmati udara malam di tepi pantai itu, aku memasuki sebuah pondok sewaan yang menjadi tempat yang kami tuju. Bercengkrama dengan sahabat, menikmati aroma masakan yang disediakan untuk memadamkan nafsu kelaparan yang melanda lebih 20 orang yang ada dirumah itu. Aku keluar sejenak di teras rumah, sedikit mencari udara segar dari pengapnya rumah sewaan itu. Sambil menikmati kembali lembar demi lembar perahu kertas di tanganku. Namun, Keenan mengajakku berjalan-jalan di pesisir pantai, menikmati angin malam yang menerpa jilbab kami. Sedikit spot di pasir yang terbentang luas itu kami ambil untuk meluruskan kaki di tengah deburan ombak.
“Nai, kamu tahu tidak kenapa kita merasa begitu damai saat melihat dan mendengar deburan ombak, gunung yang menjulang tinggi dengan segala kesejukan yang ditawarkannya, bintang yang bercahaya menghiasi langit malam, dan segala bentuk keindahan yang tersaji di hadapan kita?” ucap Keenan sambil menatap bintang yang belum tertutupi ombak.
“Hem……..tidak tahu, mungkin emang udah fitrahnya kali” jawabku seadanya sambil terus memperhatikan dua sahabatku di tepi pantai sedang memperhatikan binatang laut yang berlari kiri-kanan dengan terus memancarkan sinarnya.
“Karena saat melihat keindahan itu kita serasa kembali ke kampung halaman kita tempat dimana kita berasal. Kamu tahu kan roh kita sebelum tiba ke bumi, dia berada di surga dan menikmati semua keindahan itu. Makanya kita merasa damai dan tentram dengan semua elemen-elemen indah itu.”
Aku tersenyum mendengar argumen Keenan di sampingku. Sesaat kemudian binatang yang memancarkan sinarnya itu berjalan mengarah pada kami-cantik-itu yang bisa ku tangkap dari salah satu sosok spesies ciptaan-Nya yang mengagumkan.
“Apa nama binatang itu?” Tanya Keenan pada dua sahabatku yang asyik bermain-main dengan binatang itu.
“Tidak tahu, mungkin plankton.”
“Plankton mah kecil, sarapan paginya ikan” sahutku sambil terkekeh
“Kalo gitu mungkin dia temannya Patrick atau tuan crab kali”
“Cahayanya meredup!” teriakku saat binatang itu mulai tidak terlihat lagi di kegelapan malam.
“Kayaknya dia harus masuk lagi ke dalam air supaya bisa kembali mengeluarkan cahayanya, biasanya binatang ini bercahaya di bulan-bulan puasa atau mendekati lebaran.”
“Kok bisa gitu?”
“Tidak tahu, coba kita buka forum diskusi bersama binatang itu untuk mencari jawabannya.”
“Yah….aturlah waktunya.” Kami berempat tertawa di kolong langit dengan backsound debur ombak yang meneduhkan.
“Mending kita kembali ke pondokan, hujan akan turun” ucap sahabatku saat melihat warna awan mulai menghitam dan menutupi semua bintang indah penghias langit.

Aku dan Keenan kembali menikmati malam, diatas bale-bale yang ada di depan pondokan. Kami merebahkan kepala dan terus menengadah menatap sarang laba-laba di atap-atap kayu-dan Dia datang menghampiri kami- tenggorokanku sempat tercekat. Dia pun merebahkan badannya mengikuti kami, bercerita tentang segala persiapan kegiatan yang tengah dijalankannya bersama Keenan. Aku terdiam di sudut bale-bale itu dengan menikmati sayup-sayup “When I look at you” yang mengalun dari handphoneku. Aku terbangun untuk memperbaiki perasaanku, menatap ke arah hamparan pasir pantai di hadapanku.
“Nai, sekarang kamu semester berapa?” tanyanya padaku
“Semester tujuh.”
“Ehm……udah mo selesai juga dong, nggak nyangka…..dulu aku pertama kali melihatmu waktu masih SMA eh….SMP yah, kayaknya waktu itu aku masih kelas 2 SMA dan sekarang ternyata kamu udah mau jadi sarjana juga.”
Aku hanya tersenyum getir, ia sama sekali tidak tahu kalau sentilan kecilnya tentang masa lalu kami itu membawaku kembali pada tujuh tahun lalu, saat aku mulai stak pada perasaan ini. 10 November 2002.

Dalam keadaan seperti itu ku akui aku tidak bisa bertahan lebih lama, entah sudah berapa lama aku tidak bisa lagi berbicara sebebas dulu, seriang dulu dengannya. Sejak aku merasa waktunya untuk mengambil space yang cukup untuk menyelamatkanku dari perasaanku sendiri. Sudah sejak lama saat aku sudah tidak bisa menatapnya lagi saat kami berbicara dan mencari titik pandangan yang lain untuk mengatur perasaan anehku. Dan untungnya aku diselamatkan dengan kedatangan senior-senior kami yang telah lulus dan memiliki kehidupan realitas yang lain. Kami menghabiskan seperempat malam sambil bersenda gurau tentang masa lalu dengan sedikit petikan-petikan gitar dan alunan lagu. Dan aku tidak menyadari ada gelak tawa yang terdengar lepas dariku saat menikmati malam itu, dengan alunan sebelum cahaya-letto dan yang terdalam-peter pan.

Aku dan Keenan berganti posisi kearah bale-bale di samping pondokan. Disaat Keenan mencoba untuk terlelap di buai malam, aku kembali menekuri halaman perahu kertas dan kemudian sadar ada letupan yang terdengar dalam seluruh tubuhku yang memintaku untuk menulis indahnya malam ini. Keenan terbangun, ia tidak bisa memejamkan matanya. Ia menghabiskan malam sebelum subuh mendekat, dengan menonton Ketika Cinta Bertasbih. Aku mulai merasa kram di kakiku, karena terlalu lama duduk bersila dengan perahu kertas di tanganku. Aku meraih headset dan mengalunkan lagu di telingaku sambil menyusuri jalan di depan pondokan untuk sedikit merilekskan tubuhku dan terhenti di sebuah bangku. Dengan mata terus tertuju ke arah bintang-bintang, aku bersenandung.

“Nai, yuk……jalan ke tepi pantai lagi, filmnya dah habis” teriak Keenan padaku.
Kami berdua mendekati tepi pantai yang dingin di 04.00 wita subuh itu. Keenan merebahkan badannya di atas pasir dan memintaku melakukannya juga. Aku merebahkan tubuhku dan menikmati sensasi taburan bintang yang menjadi atap kami malam itu. Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terus menatap bintang, terus mengembara ke aneka riak-riak memori. Dan aku bangkit saat melihat Keenan terlelap di atas pasir itu. Aku melepas alas kaki yang menyelimuti kakiku sejak tadi, kemudian menyusuri setiap jengkal pasir yang basah di kenai ombak yang berayun. Sesekali kakiku harus basah terhempas ombak dan tertawa sendirian menikmati sentuhan dingin air laut subuh itu. Dengan tetap di temani alunan lagu, aku menatap kilauan cahaya-cahaya kapal nelayan di ujung batas cakrawala sampai akhirnya aku tersadar dengan bunyi adzan yang berkumandang dari masjid sekitar.
“Keenan, udah subuh ke pondokan yuk!”
“Kamu shalat?” tanyanya padaku
“Tidak.”
“Aku juga tidak.”
Ehm…..lagi-lagi masalah perempuan.

Kami mendaratkan kaki di bale-bale tempat kami bernyanyi-nyanyi malam tadi. Kembali merebahkan badan dan tanpa ku sadari, aku mulai di serang kantuk. Cahaya mulai menyeruak dan hamparan pasir di hadapanku mulai terlihat jelas. Ehm…..aku tertidur rupanya!!
“Keenan….pulang yuk, kita kan mau nyari bubur.”
“Ya udah…..cuci muka dulu yach”
Kami berkemas dan berbenah, bersiap meninggalkan lokasi kegiatan itu. Dan dia muncul di balik jendela memamerkan senyumnya dan mengganggu anak-anak lain. Dia mau ikut makan bubur, itu yang ku dengar, dan tenggorokanku tercekat.

Saat motorku telah selesai ku panaskan sejenak, dia muncul sambil membawa gitar dan mengalunkan lagu-lagu. Dia bernyanyi sambil berjalan berkeliling, aku tersenyum melihatnya dengan wajah lugu seperti itu dan dengan rambut yang acak-acakan aku melihat sosok yang sudah lama tidak ku lihat lagi dalam dirinya. Sosok yang ku rindukan dengan riak kebebasan. Sosok yang membuatku pertama kali merasakan degub aneh di jantungku. Tapi aku kemudian menghempaskan kenangan itu, aku tidak boleh kembali pada kondisi itu

Akhirnya hanya aku dan Keenan yang merasakan bubur ayam pagi itu karena dia tidak jadi ikut bersama kami. Setidaknya kenyataan itu membuatku sedikit lega, aku tidak perlu menghindar lagi dari sosok apapun ketika aku ingin benar-benar menikmati pagi dengan semangkok bubur ayam.
“Thanks ya Nai, ini sangat menyenangkan. Lain kali kita kayak gini lagi yach,menikmati debur ombak dan tertidur di pasir benar-benar hal yang sangat menyenangkan.”
Aku tersenyum, benar-benar malam yang menyenangkan.

Hari ini aku tersadar akan satu hal, saat berhadapan dengannya aku tidak bisa menjadi diriku sendiri karena terus berusaha tidak terlibat terlalu dalam, namun aku bisa menjadi diriku seutuhnya jika kami berkomunikasi tidak secara langsung. Seakan hidup terus-terusan ingin mengingatkan bahwa ada sekat antara aku dan dia yang tidak bisa ditembus. Dan aku hanya bisa menerima dan ikhlas karena hati telah memilih.

0 komentar:

Posting Komentar

koment yach!!!

Siguiente Anterior Inicio

SlideShow